.
Pengertian
Aqidah Secara Bahasa (Etimologi) :
.
Kata ” ‘aqidah “ diambil dari
kata dasar “al-‘aqdu” yaitu ar-rabth(ikatan), al-Ibraam (pengesahan), al-ihkam(penguatan), at-tawatstsuq(menjadi
kokoh, kuat), asy-syaddu biquwwah(pengikatan dengan kuat),at-tamaasuk(pengokohan)
dan al-itsbaatu(penetapan). Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin(keyakinan)
dan al-jazmu(penetapan).
“Al-‘Aqdu” (ikatan) lawan kata
dari al-hallu(penguraian, pelepasan). Dan kata tersebut diambil
dari kata kerja: ” ‘Aqadahu” “Ya’qiduhu” (mengikatnya), ” ‘Aqdan” (ikatan
sumpah), dan ” ‘Uqdatun Nikah” (ikatan menikah). Allah Ta’ala berfirman,
“Allah
tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja …”
(Al-Maa-idah
: 89).
Aqidah artinya ketetapan yang tidak
ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Sedang pengertian aqidah
dalam agama maksudnya adalah berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan.
Seperti aqidah dengan adanya Allah dan diutusnya pada Rasul. Bentuk jamak dari
aqidah adalah aqa-id. (Lihat kamus bahasa: Lisaanul ‘Arab, al-Qaamuusul Muhiith
dan al-Mu’jamul Wasiith: (bab: ‘Aqada).
Jadi kesimpulannya, apa yang telah
menjadi ketetapan hati seorang secara pasti adalah aqidah; baik itu benar
ataupun salah.
Pengertian Aqidah Secara Istilah
(Terminologi)
Yaitu perkara yang wajib dibenarkan
oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan
yang teguh dan kokoh, yang tidka tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.
Dengan kata lain, keimanan yang
pasti tidak terkandung suatu keraguan apapun pada orang yang menyakininya.
Dan harus sesuai dengan kenyataannya; yang tidak menerima keraguan atau
prasangka. Jika hal tersebut tidak sampai pada singkat keyakinan yang kokoh,
maka tidak dinamakan aqidah. Dinamakan aqidah, karena orang itu mengikat
hatinya diatas hal tersebut.
Aqidah Islamiyyah:
Aqidah Islamiyyah:
Maknanya adalah keimanan yang pasti
teguh dengan Rububiyyah Allah Ta’ala, Uluhiyyah-Nya, para Rasul-Nya, hari
Kiamat, takdir baik maupun buruk, semua yang terdapat dalam masalah yang ghaib,
pokok-pokok agama dan apa yang sudah disepakati oleh Salafush Shalih dengan
ketundukkan yang bulat kepada Allah Ta’ala baik dalam perintah-Nya, hukum-Nya
maupun ketaatan kepada-Nya serta meneladani Rasulullah SAW.
Aqidah Islamiyyah:
Aqidah Islamiyyah:
Jika disebutkan secara mutlak, maka
yang dimaksud adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena itulah pemahaman
Islam yang telah diridhai oleh Allah sebagai agama bagi hamba-Nya. Aqidah
Islamiyyh adalah aqidah tiga generasi pertama yang dimuliakan yaitu generasi
sahabat, Tabi’in dan orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Nama lain Aqidah Islamiyyah:
Nama lain Aqidah Islamiyyah:
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
sinonimnya aqidah Islamiyyah mempunyai nama lain, di antaranya, at-Tauhid,
as-Sunnah, Ushuluddiin, al-Fiqbul Akbar, Asy-Syari’iah dan al-Iman.
Nama-nama itulah yang terkenal
menurut Ahli Sunnah dalam ilmu ‘aqidah.
Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin
Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis
Sunnah wal Jama’ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama’ah),
terj. Farid bin Muhammad Bathathy(Pustaka Imam Syafi’i, cet.I), hlm. 33-35.
.
BEBERAPA
ISTILAH LAIN TENTANG AQIDAH
1. Iman
Ada yang menyamakan istilah iman
dengan aqidah, dan ada yang membedakannya. Bagi yang membedakan, aqidah
hanyalah bagian dalam (aspek hati) dari iman, sebab iman menyangkut aspek dalam
dan aspek luar. Aspek dalamnya berupa keyakinan dan aspek luar berupa pengakuan
lisan dan pembuktian dengan amal.
Sedangkan kalau kita mengikuti
definisi iman menurut jahmiyah dan Asy’ariyah yang mengatakan bahwa iman
hanyalah at-tashdiq (membenarkan dalam hati) maka iman dan aqidah adalah dua
istilah yang bersinonim. Senada dengan ini, adalah pendapat Abu Hanifah yang
mengatakan bahwa iman hanyalah I’tiqad, sedangkan amal adalah bukti iman,
tetapi tidak dinamai iman.
Sebaliknya jika kita mengikuti
definisi iman menurut ulama salaf (imam Malik, Ahmad, Syafi’I) yang mengatakan
bahwa iman adalah : ” sesuatu yang diyakini di dalam hati, diucapkan dengan
lisan, dan diamalkan dengan anggota tubuh “ maka iman dan aqidah
tentu tidak persis sama.
2. Tauhid
Tauhid artinya mengesakan
(mengesakan Allah-Tauhidullah). Ajaran tauhid adalah tema sentral aqidah dan
iman, oleh sebab itu aqidah dan iman diidentikan juga dengan istilah tauhid.
3.Ushuluddin
Ushuluddin artinya pokok-pokok
agama. Aqidah, iman dan tauhid disebut juga ushuluddin karena ajaran aqidah
merupakan pokok-pokok ajaran agama Islam.
4. Ilmu kalam
Kalam artinya berbicara, atau
pembicaraan. Dinamakan ilmu kalam karena banyak dan luasnya dialog dan
perdebatan yang terjadi antara pemikir masalah-masalah aqidah tentang beberapa
hal. Misalnya tentang al-Qur’an apakah khaliq atau bukan, hadist atau qadim.
Tentang taqdir, apakah manusia punya hak ikhtiar atau tidak. Tentang orang
berdosa besar, kafir atau tidak dan lain sebagainya. Pembicaraan dan perdebatan
luas seperti itu terjadi setelah cara berfikir rasional dan falsafati
mempengaruhi para pemikir dan ulama Islam.
5. Fikih Akbar
Fikih akbar artinya fikih besar.
Istilah ini muncul berdasarkan pemahaman bahwa tafaquh fiddin yang
diperintahkan Allah swt dalamsurat at-Taubah ayat 122, bukan hanya masalah
fikih, tentu dan lebih utama masalah aqidah. Untuk membedakan dengan fikih
dalam masalah hukum ditambah dengan kata akbar, sehingga menjadi fikih akbar.
6. Teologi Islam
Teologi berasal dari dua suku kata,
yaitu teo (Tuhan) dan logos (ilmu). Jadi teologi adalah ilmu menegnai Tuhan.
Dalam pengertian yang umum, teologi diartikan dengan “pengetahuan yang
berkaitan dengan seluk beluk tentang Tuhan. Para ahli agama-agama mengartikan
teologi dengan pengetahuan tentang Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan
serta hubungan Tuhan dengan alam semesta.
Sebagai ilmu yang membicarakan
ketuhanan, maka kata ini digunakan oleh semua agama. Sementara untuk teologi
Islam mengkaji seluk beluk ketuhanan yang terdapat dalam ajaran Islam. Dengan
demikian kata teologi bersifat netral, bisa digunakan kepada agama apa saja,
sesuai dengan karakter dari agama yang menjadikan ketuhanan sebagai kajian
utamanya.
7. Ilmu Ma’rifat
Disebut sebagai ilmu ma’rifah,
karena ilmu ini dapat mengenal atau memperkenalkan ajaran-ajaran aqidah Islam,
sehingga dalam pembahasanya meliputi: Pertama, ma’rifat al-mabda’ yaitu
mengenal Allah dengan segala sifat, af’al dan asma-Nya. Kedua, ma’rifat
al-wasithat yaitu mengenal utusan-utusan Allah meliputi malaikat, rasul dan
kitab-kitab Allah. Ketiga, ma’rifat al-ma’ad yaitu mengenal dan mempercayai
hari akhir dan segala sesuatu yang terjadi di alam ini merupakan iradah dengan
takdir Allah swt.
SUMBER
AQIDAH
Sumber aqidah Islam adalah al-Qur’an
dan as-sunnah. Artinya apa saja yang disampaikan oleh allah dalam al-qur’an dan
rasulullah dalam sunnah-nya wajib diimani, diyakini, dan diamalkan.
Akal fikiran sama sekali bukan
sumber aqidah Islam, tetapi merupan instrumen yang berfungsi untuk memahami
nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan mencoba – kalau
diperlukan – membuktikan secara ilmiyah kebenaran yang disampaikan oleh
al-Qur’an dan Sunnah. Itupun harus didasari oleh suatu kesadaran penuh bahwa
kemampuan akal sangat terbatas, sesuai dengan terbatasnya kemapuan semua makhluk
Allah.
Akal tidak akan mampu menjangkau
masa’il ghaibiyah (masalah-masalah ghaib), bahkan akal tidak akan sanggup
menjangkau sesuatu yang tidak terikat oleh ruang dan waktu.
Misalnya, akal tidak mampu
menunjukan jawaban atas pertanyaan kekekalan itu sampai kapan? Atau
akal tidak sanggup menunjukan tempat yang tidak ada di darat atau di laut, di
udara dan tidak dimana-mana. Karena kedua hal tersebut tidak terikat oleh ruang
dan waktu.
Oleh sebab itu akal tidak boleh
dipaksa memahami hal-hal ghaib tersebut dan menjawab pertanyaan segala sesuatu
tentang hal-hal ghaib itu. Akal hanya perlu membuktikan jujurkah atau bisakah
kejujuran si pembawa risalah tentang hal-hal ghaib itu bisa dibuktikan secara
ilmiyah oleh akal fikiran.
Berkenaan dengan peneyelidikan akal
untuk menyakini aqidah Islam, terutama yang berkenaan dengan hal-hal ghaib di
atas, manusia dipersilahkan untuk mengarahkan pandangan dan penelitianya kepada
alam semesta ini, di bumi, di langit, dan rahasia-rahasia yang terseimpan pada
keduanya.
Manusia diperintahkan untuk
memperhatikan bagaimana langit ditegakan tanpa tiang seperti yang kita lihat,
dan bumi dihamparkan dan dibangun dengan suasana yang teratur dan teguh dalam
sebuah system yang saling berjalin berkelindan.
Penyelidikan akal yang mendalam
pasti akan mengatakan dan meyakinkan, bahwa alam ini mustahil tercipta dengan
sendirinya dan timbul karena kekuatan-kekuatan yang bertentangan satu sama
lain, seperti keyakinan dalam naturalisme.
Penyelidikan akal secara cermat
dapat melahirkan pengakuan mutlak bahwa semua alam semesta yang teratur, rapi,
dan berjalan menurut hukum yang tetap dan tak berubah-ubah mensyaratkan ada
penciptanya, pengatur dan pemeliharanya. Oleh karena itu, al-qur’an
berkali-kali menganjurkan dan memberikan petunjuk ke arah penyelidikan
dalammenetapkan aqidah dengan cara demikian. Lihat firman Allah QS
Al-baqarah:164.
CARA
MENETAPKAN AQIDAH
Allah swt selaku syari telah
memutuskan dan menetapkan untuk memberikan keterangan-keterangan di sekitar
masalah-masalah yang wajib diimani, antara lain yang terkandung dalam arkanul
iman.
Allah telah menggariskan persoalan
tersebut dengan jelas dan menuntut agar manusia mempercayainya.
Iman yang dimaksud itu adalah
I’tiqad dengan kebulatan hati dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya serta
berlandaskan dalil dan alasan.
I’tiqad semacam ini tentunya tidak
dapat diperoleh dengan dalil-dalil sembarangan, melainkan dengan dalil-dalil
yang pasti dan tanpa dicampuri keraguan.
ooo
Oleh
karena itu para ulama sepakat untuk menetapkan aqidah berdasarkan tiga macam
dalil, yaitu:
1. Dalil Aqli.
Dalil ini dapat diterima apabila
hasil keputusannya dipandang masuk akal atau logis dan sesuai dengan perasaan,
tentunya yang dapat menimbulkan adanya keyakinan dan dapat memastikan adanya
iman yang dimaksudkan. Dengan menggunakan akal manusia merenungkan dirinya
sendiri dan alam semesta, yang dengannya ia dapat melihat bahwa dibalik semua
ituterdapat adanya Tuhan pencipta yang satu.
2.Dalil Naqli.
Dalil naqli yang tidak menimbulkan
keyakinan dan tidak menciptkan keimanan sebagai yang dimaksud, dengan
sendirinya dalil tersebut tidak dapat digunakan untuk menetapkan aqidah. Oleh
karena itu Syaikh Mahmud Syaltut mengajukan dua syarat yang harus dipenuhi oleh
dalil naqli sehingga dalil tersebut dapat menanamkan keyakinan dan menetapkan
aqidah:
Dalil naqli itu pasti kebenaranya. Ini artinya bahwa dalil itu harus
dapat dipastikan benar-benar datang dari rasulullah tanpa ada keraguan sedikit
pun. Dan yang demikian itu hanya dapat dijumpai pada dalil-dalil yang mutawatir.
Dalil naqli itu pasti dan tegas tujuanya. Ini artinya bahwa dalil naqli
memilki makna yang tepat dan tegas. Ini hanya bisa terjadi bila dalil-dalil itu
tidak memilki dua atau tiga pengertian sekaligus atau lebih.
3. Dalil Fitrah.
Dalil ini adalah hakekat yang
mendasari kejadian manusia. Fitrah ini merupakan perasaan keagamaan yang ada
dalam jiwa dan merupakan bisikan batin yang paling dalam. Dan kesucian ini akan
tetap terpelihara manakala selalu membersihkan jiwanya dari tekanan kekuatan
waham dan pengaruh nafsu.
Bila manusia membiarkan fitrah dan
nalurinya berbicara, maka dia akan mendapatkan dirinya berhadapan dengan
kekuatan tertinggi di atas kekuatan manusia dan alam. Ia akan berdoa dalam suka
maupun duka. Lebih-lebih di saat manusia berada dalam keputusasaan, diancam
bahaya dan bencana.
Di saat-saat seperti itulah dia
menghadapkan diri secara ikhlas kepada Tuhannya, melepaskan segala apa yang
telah menyebabkan dia menghadapkan dirinya kepada selain Allah karena pengaruh
imajinasi, kebodohan, hawa nafsu, atau pengaruh tuhan-tuhan palsu berupa
manusia, hewan, tumbuhan, dan benda-benda mati lainya.
RUANG
LINGKUP PEMBAHASAN AQIDAH
Kajian aqidah menyangkut keyakinan
umat Islam atau iman. Karena itulah, secara formal, ajaran dasar tersebut
terangkum dalam rukun iman yang enam. Oleh sebab itu, sebagian para ulama dalam
pembahasan atau kajian aqidah, mereka mengikuti sistematika rukun iman yaitu: iman
kepada Allah, iman kepada malaikat (termasuk pembahasan tentang makhluk ruhani
seperti jin, iblis, dan setan), iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada Nabi
dan rasul Allah, iman kepada hari akhir, dan iman kepada qadha dan qadar Allah
swt.
Sementara Ulama dalam kajiannya
tentang aqidah islam menggunakan sistematika sebagai berikut:
1. Ilahiyat: yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan ilah (Tuhan, Allah), seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat
Allah,perbuatan-perbuatan (af’al) Allah dan sebagainya.
2. Nubuwat: yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan nabi dan Rasul, termasuk pembicaraan mengenai kitab-kitab Allah,
mukjizat, karamat dan sebagainya.
3. Ruhaniyat: yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan alam metafisik seperyi Malaikat, Jin, Iblis, Setan, Roh dan lain
sebaginya.
4. Sam’iyat: yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa
diketahui lewat sama’, yaitu dalil naqli berupa al-qur’an dan as-sunnah,
seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga, neraka
dan sebaginya.
Berbeda
dengan dua sistematika di atas, Prof. Dr. H. Syahrin Harahap, MA, dalam
Ensiklopedi Aqidah Islam menjabarkan obyek kajian aqidah mengacu pada tiga
kajian pokok, yaitu:
1. Pengenalan terhadap sumber ajaran
agama (ma’rifatul mabda’), yaitu kajian mengenai Allah. Termasuk dalam bidang ini sifat-sifat yang semestinya ada
(wajib), yang semestinya tidak ada (mustahil), dan yang boleh ada dan tiada
(jaiz) bagi Allah. Menyangkut dengan bidang ini pula, apakah Tuhan bisa dilihat
pada hari kiamat (ru’yat Allah).
2. Pengenalan terhadap pembawa kabar
(berita) keagamaan (ma’rifat al-wasithah).
Bagian ini mengkaji tentang utusan-utusan Allah (nabi dan rasul), yaitu
kemestian keberadaan mereka, sifat-sifat yang semestinya ada (wajib), yang
semestinya tidak ada (mustahil), serta yang boleh ada dan tiada (jaiz) bagi
mereka. Dibicarakan juga tentang jumlah kitab suci yang wajib dipercayai,
termasuk juga cirri-ciri kitab suci. Kajian lainya ialah mengenai malaikat,
menyangkut hakekat, tugas dan fungsi mereka.
3. Pengenalan terhadap
masalah-masalah yang terjadi kelak di seberang kematian (ma’rifat al-ma’ad).
Dalam bagian ini dikaji masalah alam barzakh, surga, neraka, mizan, hari kiamat
dan sebagainya.
TINGKATAN
AQIDAH
Tingkatan aqidah seseorang
berbeda-beda antara satu dengan yang lainya tergantung dari dalil, pemahaman,
penghayatan dan juga aktualisasinya. Tingkatan aqidah ini paling tidak ada
empat, yaitu:
1.
Taqlid,
2.
Ilmul yaqin,
3.
‘Ainul yaqin, dan
4.
Haqqul yaqin.
1. Tingkat Taqlid
.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ
وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya”.
Tingkat taqlid berarti
menerima suatu kepercayaan dari orang lain tanpa diketahui alasan-alasanya.
Sikap taklid ini dilarang oleh agama Islam sebagaimana disebutkan dalam QS
al-Isra’ (17): 36.
2. Tingkat Ilmul Yaqin.
Tingkat ilmul yaqin adalah suatu
keyakinan yang diperoleh berdasarkan ilmu yang bersifat teoritis. Sebagaimana
yang disebutkan dalam QS at-takatsur (102): 1-5.
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ!حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ!كَلَّا
سَوْفَ تَعْلَمُونَ!ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ!كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ
عِلْمَ الْيَقِينِ!
“Bermegah-megahan telah melalaikan
kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan
mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan
mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang
yakin.”
3. Tingkat ‘Ainul Yaqin
Tingkat ‘ainul yaqin adalah suatu
keyakinan yang diperoleh melalui pengamatan mata kepala secara langsung tanpa
perantara. Hal ini disebutkan di dalam QS at-Takatsur (102): 6-7.
لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ!ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ
الْيَقِينِ!
“Niscaya
kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar
akan melihatnya dengan `ainul yaqin”.
4. Tingkat Haqqul Yaqin
Tingkat haqqul yaqin adalah suatu
keyakinan yang diperoleh melalui pengamatan dan penghayatan pengamalan
(empiris). Sebagaimana disebutkan di dalam QS al-Waqi’ah (56): 88-89.
فَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ!فَرَوْحٌ
وَرَيْحَانٌ وَجَنَّةُ نَعِيمٍ!وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ!فَسَلَامٌ
لَكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ!وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُكَذِّبِينَ
الضَّالِّينَ!فَنُزُلٌ مِنْ حَمِيمٍ!وَتَصْلِيَةُ جَحِيمٍ!إِنَّ هَذَا لَهُوَ
حَقُّ الْيَقِينِ!فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ!
“Adapun
jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), maka
dia memperoleh ketenteraman dan rezki serta surga keni`matan. Dan adapun jika
dia termasuk golongan kanan, maka keselamatan bagimu karena kamu dari golongan
kanan. Dan adapun jika dia termasuk golongan orang yang mendustakan lagi sesat,
maka dia mendapat hidangan air yang mendidih, dan dibakar di dalam neraka.
Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah suatu keyakinan yang benar. Maka
bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar”.
SIGNIFIKANSI
DAN FUNGSI AQIDAH
Sesuai dengan fungsinya sebagai
dasar agama, maka keberadaan aqidah Islam sangat menentukan bagi seorang
muslim, sebab dalam system teologi agama ini diyakini bahwa sikap, perbuatan
dan perubahan yang terjadi dalam perilaku dan aktivitas seseorang sangat
dipengaruhi oleh system teologi atau aqidah yang dianutnya. Untuk itu
signifikansi akidah dalam kehidupan seseorang muslim dapat dilihat paling tidak
dalam empat hal, yaitu:
1. Aqidah Islam merupakan landasan
seluruh ajaran Islam. Di atas keyakinan dasar inilah
dibangun ajaran Islam lainya, yaitu syari’ah (hukum islam) dan akhlaq (moral
Islam). Oleh karena itu, pengamalan ajaran Islam lainya seperti shalat, puasa,
haji, etika Islam (akhlak) dan seterusnya, dapat diamalkan di atas bagunan
keyakinan dasar tersebut. Tanpa keyakinan dasar, pengamalan ajaran agama tidak
akan memiliki makna apa-apa.
2. Akidah Islam berfungsi membentuk
kesalehan seseorang di dunia,
sebagai modal awal mencapai kebahagiaan di akhirat. Hal ini secara fungsional
terwujud dengan adanya keyakinan terhadap kehidupan kelak di hari kemudian dan
setiap orang mempertanggungjawabkan perbuatanya di dunia.
3.Akidah Islam berfungsi
menyelamatkan seseorang dari keyakinan-keyakinan yang menyimpang, seperti bid’ah, khurafat, dan penyelewengan-penyelewengan
lainya.
4. Akidah islam berfungsi untuk
menetapkan seseorang sebagai muslim atau non muslim. Begitu pentingnya kajian akidah islam hingga bidang ini
telah menjadi perbincangan serius di kalangan para ahli sejak zaman awal Islam
sampai hari ini, termasuk di Indonesia. Di dalam apresiasinya, kajian mengenai
bidang ini melahirkan beberapa aliran, seperti Suni [ Maturidiyah,
Asy’ariyah,-Ahlussunnah wal Jama’ah ]
Murjiah,Muktazilah,Wahabiyah, Syiah, Khawarij, Qadariyah, Jabbariyah dan
lain-lain.
Sebagai hal yang sangat fundamental
bagi seseorang, aqidah oleh karenanya disebut sebagai titik tolak dan sekaligus
merupakan tujuan hidup. Atas dasar itu maka aqidah memiliki peran yang sangat
penting di dalam memunculkan semangat peningkatan kualitas hidup seseorang.
Fungsi tersebut antara lain:
A. Akidah Dapat Menimbulkan
Optimisme Dalam Kehidupan.
Sebab manusia yang di dalam dirinya
tertanam akidah atau keyakinan yang kuat, akan selalu merasa optimis dan merasa
akan berhasil dalam segala usahanya. Keyakinan ini didorong oleh keyakinan yang
lain bahwa allah sangat dekat padanya, bahkan selalu menyertainya dalam usaha
dan aktivitas-aktivitasnya.
Sementara bagi orang yang tidak
memiliki akidah yang benar dan kuat tidak akan memilki keyakinan yang kuat,
jiwanya akan menjadi gersang dan hampa, dan selalu diliputi keraguan dalam
bertindak. Sehingga jika tertimpa sedikit cobaan dan rintangan, ia menjadi
gelisah, keluh kesah, yang sering kali berakhir dengan putus asa, karena ia
tidak memiliki pegangan batin yang kuat di luar kemampuanya.
B. Akidah Dapat Menumbuhkan
Kedisiplinan.
Disiplin dimaksud, seperti disebut
oleh beberapa Ulama, adalah kepatuhan dan ketaatan dalam mengikuti semua
ketentuan dan tata tertib yang berlaku, termasuk hukum alam (sunnah allah)
dengan kesadaran dan tanggung jawab. Akidah yang mantap akan mampu menempatkan
diri seseorang sebagai makhluk berdisiplin tinggi dalam kehidupanya.
Disiplin adalah kata kunci untuk
keberhasilan. Karena itu bila seseorang muslim ingin berhasil, ia harus berdisplin.
Tanpa dsiplin, tidak munngkin seseorang dapat meraih kesuksesanya. Dalam
konteks peningkatan kualitas hidup displin sangat dituntut terutama:
1. Disiplin dalam waktu. Artinya, tertib dan teratur dalam memanfaatkannya dalam
penanganan kerja maupun dalam melakukan ibadah mahdhah.
2. Disiplin dalam bekerja. Artinya, seorang muslim yang berakidah menyadari bahwa ia
harus bekerja, sebagai pelaksanaan tanggung jawabnya sebagai khalifah Allah.
Dan agar kerjanya berhasil baik, diperlukan sikap displin. Sebab penangan kerja
dengan kedisplinan akan menghasilkan sesuatu secara maksimal dan membahagiakan.
C. Aqidah Berpengaruh Dalam
Peningkatan Etos Kerja.
Sebab seseorang yang memilki
keyakinan yang mantap akan selalu berupaya keras untuk keberhasilan kerjanya,
sebagai bagian dari pemenuhan kataatanya pada Allah. Dengan demikian melalui
aqidahnya akan tersembul etos kerja yang baik yang tercermin dari ciri-ciri
berikut ini:
1) Memiliki jiwa kepeloporan dalam menegakan kebenaran
Kepeloporan disini dimaksud sebagai
mengambil peran secara aktif untuk mempengaruhi orang lain agar dapat
meningkatkan kualitas hidupnya. Jadi, ia memilki kemampuan untuk mengambil
posisi dan sekaligus memainkan peran (role) sehingga kehadiranya selalu
dirasakan memberikan spirit bagi munculnya semangat peningkatan kualitas hidup
setiap oran di sekitarnya.
2) Memiliki perhitungan (kalkulatif)
Setiap langkah dalam hidupnya selalu
diperhitungkan dari segala aspek, termasuk untung dan resikonya, dan tentu saja
sebuah perhitungan yang rasional.
3) Memiliki rasa iri yang mendalam pada perbuatan tidak merasa puas
dalam berbuat kebajikan.
Tipe muslim yang memilki aqidah yang
kaut akan tampak dari semangatnya yang tak kenal lelah melakukan berbagai
aktivitas untuk mencapai dan menegakan kebaikan. Sekali dia berniat, ia akan
menepati cita-citanya secara serius dan cermat, serta tidah mudah menyerah bila
berhadapan dengan cobaan dan rintangan. Dengan semangat semacam ini seorang
muslim selalu berusaha mengambil posisi dan memainkan peranan positif, dinamis,
dan keratif dalam penanganan kerjanya, dan memberi contoh kepada orang yang
disekitarnya.
Sedemikian pentingnya peran dan
kontribusi aqidah bagi peningkatan kualitas hidup seorang muslim, hingga
pemerhati masalah-masalah tauhid, Ismail Razi al-faruqi menyebut aqidah
(tauhid) sebagai prinsip ekonomi Islam dalam bentuk etika produksi, etika distribusi
dan etika konsumsi.
Disadur
dari beberapa bacaan liar
Wallahu
‘Alam bi Shawab.
= Al-Maidah 89 =
لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ
وَلَـكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ
عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ
أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ
كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ
يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ﴿٨٩
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah
yang kamu sengaja,
maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh
orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,
atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.
Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian,
maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah
kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah
sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu
bersyukur (kepada-Nya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar